5. Teater Indonesia Orde Lama (1950-1970)
Setelah tokoh kemerdekaan,
peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg
kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan,
kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan
pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg secara khas dilukiskan dalam lakon
Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951),
Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin,
1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang
bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme
politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan
penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon
seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang
Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja
(1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali
(1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani
dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di
Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi
sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal
di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan
naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater
barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman
teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan
Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan
lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan
Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI
adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI
inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi
Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya,
Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi
Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS)
didirikan di Surakarta.
6. Teater Politik (1970-1980)
Jim Adi Limas mendirikan
Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan
unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan
dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para
aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya,
yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain
dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William,
1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim
menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater
rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan
unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul
Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah
judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis
tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak
(Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim
belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga
teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan
unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha
membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967,
Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang
kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan
naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi,
pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian
mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata
(menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan
Rambate Rate Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman
Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu
meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta,
tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang
sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya
dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi
nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk
pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat
(kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim
Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang). Di
Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa
mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di
Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater
Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul
tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma,
Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater
Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin
C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata
cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri
penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia
sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan
yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata
artistik glamor.
7. Teater Remaja (1980 –
1990)
Tahun 1980-1990-an situasi
politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di
tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat
peristiwa Malari 1974.
Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan.
Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater
Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di
Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan
Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama
Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah
kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta
muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater
Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh
teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar
Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater
Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan
kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit,
di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater
Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama
Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater
Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di
Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang
muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta
muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi
naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui
eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta,
Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang
lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di
kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah
teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan
teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI
menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk
bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan
dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
8. Teater Kontemporer Indonesia (1990-2010)
Teater Kontemporer Indonesia
mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70
dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing
seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini.
Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional
tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat
kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal
dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian,
wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap
semakin banyak.
9. Teater Musikal (2010-Saat Ini)
Teater Musikal sebenarnya sudah ada sejak lama, namun sedang mengalami perkembangan pesat dan menjadi tren di dekade ini, Banyak komunitas teater yang mengubah gaya nya menjadi teater musikal. Tak hanya itu, Teater Internasional dengan judul-judul legendaris seperti Beauty and the Beast, dan The Sound of Musical juga menyajikan pasar di Indonesia. Komunitas teater berlomba-lomba menciptakan pentas musikal terbaik didukung gedung-gedung teater yang kini menopang sagala kebutuhan teknik suara yang dibutuhkan. Beberapa komunitas teater yang kini sedang gencar-gencarnya melebarkan sayapnya adalah JKTMoveIn (Jakarta Movement of Inspiration) oleh Nurul Susantono dan Someday Project oleh Joseph Moris
Berikut adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia, Selanjutnya kita akan membahas tentang salah satu komunitas teater di Indonesia, Someday Project
Berikut adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia, Selanjutnya kita akan membahas tentang salah satu komunitas teater di Indonesia, Someday Project