Setelah membahas perkembangan teater di dunia, kita akan masuk ke lingkup yang lebih kecil lagi yaitu perkembangan teater di negara kita, Indonesia. Teater di Indonesia telah ada sejak lama dan terus berkembang sampai saat ini
1. Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya
Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater
tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada
tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk
mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu
upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan
masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru
merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater
yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater
tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat
dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya
teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan
daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater
tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat,
sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir.
Macammacam teater tradisional
Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama
gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
2. Teater Transisi (1800-1920)
Teater transisi adalah penamaan
atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami
perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong
kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik
teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada
cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau
outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan
menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung
pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan
teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional
berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda
di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi
(Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang
Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia
pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel
di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak
mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan
naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon
dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda
F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901.
Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia
Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel
didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay
Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21
Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul,
Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek,
Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum
muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater
pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan,
istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat
Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
3. Teater Indonesia Pujangga Baru (1920-1940)
Teater pada masa kesusasteraaan
angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater
modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan.
Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih
menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru
ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena
penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan
sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa
Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak
adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya
Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi
pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama
Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning
Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn
Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji
Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere,
dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu
Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr.
Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan
menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang
ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
4. Teater Indonesia-Jepang (1940-1950)
Semua unsur kesenian dan
kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung
pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di
arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam
situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara
dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian
Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan
perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam
wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah
Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai
berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota
antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat
Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya
dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian
Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan
propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama
Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja
Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia
nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia,
Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa
pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah
rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni
hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti
budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang
Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata
Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita
dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang
Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng
Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo
Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam
rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali,
Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah
Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan
dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan
Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian,
nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode
show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul
rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada
dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan
sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater
mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara
Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong
Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan
sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis
pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian
Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara
Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan
musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang
terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai
ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut
sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton.
ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi,
Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal
lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara
yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini
terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama
menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita baru
untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya
pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda
Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang
menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian
dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini
di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan
sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa
rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida,
Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon
antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari
semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan
Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional
tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu
Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD
(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan
sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan
oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang,
Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram,
Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen
diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane.
Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu
maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh
menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor
Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan
sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang
muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu
Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan
Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda,
nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini
berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah
pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya
sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran
nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang
teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu
dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar